Selasa, 06 September 2011

Trickle Down and Trickle Up Theory

OLEH: Said Zainal Abidin


Trickle down dan trickle up adalah dua istilah yang kontradiktif yang menarik dalam kajian ekonomi politik dan pembangunan. Keduanya terkait dengan teori dan akibat dari pembangunan yang diharapkan dan yang terjadi di banyak negara. Meskipun teori trickle down ini menjadi populer di Amerika dalam Era Presiden Reagan, tetapi pendekatan ini sebenarnya sudah lama muncul di Amerika Serikat. John Kenneth Galbraith mencatat, bahwa pendekatan yang serupa sudah dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1890 dengan nama 'horse and sparrow' theory.


Teori trickle down menganggap, jika kebijakan ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kelompok orang-orang kaya, maka keuntungan itu akan menetes kebawah kepada golongan miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan melalui upah dan perluasan pasar.


Aplikasi teori ini dalam bentuk supply-side economics oleh Presiden Reagan yang dikenal sebagai Reaganomics (diotaki oleh Prof Laffer dan Prof Bartley, dilaksanakan oleh David Stockman, Direktur Anggaran pada waktu itu), cukup berhasil menekan inflasi dan kemacetan ekonomi di Amerika Serikat. Antara lain ada dua  sebab yang menjadi alasan keberhasilan Reaganomics itu.


Pertama, sebagai negara Kapitalis, lapisan pengusaha dalam masyarakat Amerika Serikat sangat dominan dibandingkan dengan kekuatan golongan lain. Pendekatan supply side economics yang dilakukan melalui pengurangan pajak (taxes cuts) segera dapat mendorong kegiatan ekonomi lapisan atas yang cukup luas itu. Akibatnya, aplikasi supply side economics melalui pengurangan tingkat pajak mendorong peningkatan kegiatan produksi atau memperbanyak jumlah barang dalam masyarakat dan memperluas kesempatan kerja.


Kedua, bersamaan dengan kebijakan berdasarkan teori trickle down itu diterapkan pula kebijakan moneter dan kebijakan anggaran ketat yang dapat mengurangi jumlah uang  beredar. Dengan demikian, kedua pendekatan itu secara bersama mengandung efek deflator sehingga mampu menekan tingkat inflasi. Tingkat inflasi yang tinggi pada akhir tahun 1970 (sebelum Reagan menjadi presiden), dapat diturunkan.
   
Bagaimana halnya dengan teori trickle up? Teori trickle up mengemukakan, bahwa pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan golongan miskin, pada akhirnya akan mengalirkan manfaat itu kepada golongan kaya di lapisan atas. Alasannya, orang-orang miskin yang secara umum mempunyai marginal propensity to consume (kecenderungan pengeluaran untuk konsumsi dari tambahan pendapatan yang diterima) yang lebih besar, cenderung mengeluarkan bagian dari pendapatannya yang lebih besar dari setiap tambahan pendapatan yang diterima dibandingkan dengan bagian pengeluaran orang kaya dari tambahan pendapatannya, maka tambahan penerimaan orang-orang miskin itu akan meluaskan pasaran bagi barang-barang yang dihasilkan oleh orang-orang kaya.


Dengan demikian dapat dibayangkan, kalau pembangunan yang dilakukan untuk kepentingan golongan miskin saja dapat mengalirkan manfaatnya  kepada golongan kaya (trickle up), apalagi kalau kebijakan itu tidak ditujukan untuk kepentingan golongan miskin?


Berdasarkan asumsi dari kedua teori tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana kita dapat menerapkan teori-teori tersebut dalam pembangunan wilayah dan menghilangkan kemiskinan di Indonesia? Pilihan terhadap kedua teori ini, tergantung pada struktur masyarakat dan kombinasi teori lain yang yang sesuai, sehingga dapat memberi efek komulatif.


Pengalaman dibanyak negara berkembang menunjukkan bahwa sekedar aplikasi kedua teori ini secara netral, keduanya tidak dapat memberi manfaat bagi golongan miskin. Dapat dipahami, golongan miskin adalah kelompok yang lemah dalam masyarakat. Pada umumnya kelompok miskin tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi, kurang berpendidikan, berwawasan sempit dan kurang inisiatif. Maka itu, kalau kelompok kaya mampu memanfaatkan fasilitas yang ada, atau bahkan dapat mendorong diadakannya fasilitas baru yang dibutuhkan, golongan miskin bahkan tidak mampu memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Mereka tidak dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk dapat menerima fasilitas tersebut. Akibatnya, fasilitas yang diberikan tidak termanfaatkan atau  beralih kepada pihak yang lebih kuat.
  
Gunnar Mirdal dalam Cumulative causation theory mengatakan, kalau dalam masyarakat semula terdapat keseimbangan antara dua kekuatan, kemudian terjadi sesuatu perubahan, maka akan terjadi ketidak seimbangan diantara kekuatan-kekuatan itu secara terus menerus. Perubahan itu akan memberi keuntungan secara berlanjut kepada yang kuat dan kerugian bagi yang lemah. "The spiral work up ward to the rich and down ward to the poor". Sejalan dengan itu, Gunnar Mirdal menjelaskan pengaruh teori itu dalam hubungan antara dua daerah yang berbeda tingkat kemajuannya.


Misalnya antara desa dengan kota atau antara negara maju dengan negara miskin.
Daerah pedesaan atau negara yang kurang maju tidak mempunyai cukup modal, kurang memiliki tenaga ahli dan terampil, sementara daerah perkotaan atau negara-negara maju mempunyai modal yang  relatif jauh lebih banyak, memiliki jumlah tenaga ahli dan terampil yang lebih banyak. Tetapi dalam hubungan antara kedua daerah ini, yang terjadi adalah, modal dari yang relatif kurang dari daerah tertinggal itu akan mengalir dan ditanamkan di daerah yang lebih maju. Begitu juga tenaga ahli dan terampil akan berpindah ke daerah yang lebih maju. Sebagai akibat dari hubungan tersebut, adalah tersapunya potensi yang ada dari daerah tertinggal mengalir kedaerah yang lebih maju, yang oleh Gunnar Mirdal disebut sebagai proses back-washed effects.
   
Karena itu, pembangunan wilayah miskin dan daerah tertinggal tidak dapat dilakukan hanya sekedar dengan menggunakan satu pendekatan saja, tanpa melihat kondisi daerah, dan kombinasi yang tepat dengan pendekatan-pendekatan lain yang diperlukan. Apalagi kalau selama ini terkesan, bahwa kinerja menteri daerah tertinggal hanya dilihat pada jumlah kunjungannya ke daerah-daerah tersebut, tanpa jelas programnya. Pembangunan wilayah miskin dan daerah tertinggal merupakan hal yang sangat strategis, mengingat banyaknya daerah miskin dan luasnya daerah-daerah tertinggal di Indonesia. Tidak hanya yang terdapat di wilayah Indonesia Bagian Timur, tetapi juga hampir di seluruh kepulauan Tanah Air. Pengaruhnya sangat besar terhadap pembangunan nasional secara menyeluruh.


Setiap masyarakat mempunyai keunikan dan permasalah tersendiri, yang harus didekati dengan pendekatan yang cocok atau dengan kombinasi pendekatan-pendekatan yang sesuai dan saling mendukung. Masalah yang terdapat dalam masyarakat di wilayah-wilayah tertinggal, sering kali sudah mengalami kompleksitas. Masalah yang ada menjadi kompleks karena terkontaminasi dengan bermacam masalah lain. Sebab itu diperlukan diagnosis yang teliti terhadap masyarakat yang bersangkutan dan pemilihan strategi yang tepat dalam penyembuhan atau pembangunannya. Sayangnya, pembangunan wilayah-wilayah miskin dan daerah-daerah tertinggal itu sejak dahulu  sampai sekarang belum mendapat prioritas yang seharusnya, sehingga terkesan sebagai tugas tambahan yang tidak terlalu diperhitungkan.

*) Said Zainal Abidinadalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management), analis kebijakan publik dan guru besar STIA LAN. Sekarang penasihat KPK