Senin, 17 November 2014

Economic Welfare

BBM SEBAGAI BARANG STRATEGIS DENGAN HARGA PASAR

      Akhirnya harga BBM di Indonesia dijual dengan harga pasar! Harga keekonomian produk BBM premium saat ini adalah Rp 8.600,-, dan pemerintah menjual dengan harga Rp 8.500,-! Sungguh luar biasa...... Sementara harga Pertamax Malaysia cuma Rp 8.700,- 
        Studi tentang dampak penurunan subsidi BBM terhadap PDB Pengeluaran dan Sektoral yang saya lakukan 14 tahun yll (core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/12126111.pdf) sangat jelas menunjukkan bahwa kebijakan ini dalam jangka panjang akan menurunkan konsumsi masyarakat semua golongan masyarakat, kecuali kelompok urban kapital (pemilik kapital di perkotaan, orang kaya di perkotaan). Dengan kata lain, tingkat kesejahteraan masyarakat secara umum akan terpangkas dengan kenaikan harga BBM ini.
        Beberapa negara saat ini masih mensubsidi harga BBM yang merupakan komoditas strategis (China, Malaysia, dll), namun negara-negara dengan sistem ekonomi pasar (liberal) tidak memberikan subsidi untuk komoditas ini. Biasanya negara-negara dengan sistem pasar ini adalah negara-negara yang mayoritas rakyatnya sudah sejahtera (Singapore, USA). 
      Di negara-negara dengan sistem pasar yang mayoritas masyarakatnya sejahtera, pemerintah memberikan banyak kompensasi pada rakyat yang belum sejahtera, melalui beberapa jenis transfer, misalnya tunjangan pengangguran. Di negara-negara ini, pendapatan rata-rata masyarakat sudah dalam level tinggi (($12,616 atau lebih per tahun), sehingga tidak bermasalah apabila pemerintahnya tidak memberikan subsidi untuk komoditas strategis seperti BBM. 
      Di Indonesia, rata-rata pendapatan masyarakat baru dalam level setengah rendah (($1,306-$4,085), dengan ketimpangan pendapatan yang cukup tinggi, indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan yang meningkat. Melihat kondisi ini, pertanyaan yang muncul adalah seberapa lama daya tahan dan pemulihan beban mayoritas masyarakat untuk mencapai tingkat kesejahteraan saat ini dengan kenaikan harga BBM?
        Apakah akan ada jaminan pemberian tunjangan untuk para penganggur, para warga miskin/ tidak/kurang mampu agar kesejahteraan mereka meningkat? Akankah akan ada kenaikan upah/gaji bagi buruh/karyawan/pegawai berpenghasilan tetap? 
         Semoga ada keberpihakan pemerintah untuk semua warga negara, bukan hanya pada nelayan maupun pengusaha.
 


Kamis, 06 November 2014

Economic Welfare

ALOKASI SUBSIDI UNTUK PRODUK STRATEGIS: SALAHKAH?
Sri Indah Nikensari

Amanah dalam Pembukaan UUD 1945 dan tujuan pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur dan merata. Masyarakat yang sejahtera akan tercapai apabila alokasi sumber daya dilakukan secara efisien dan ada kebijakan redistribusi kesejahteraan. Dan masyarakat merasa sejahtera apabila mereka telah merasa puas atas barang yang dikonsumsinya, seperti diformulasikan dalam fungsi ekonomi kesejahteraan berikut.
        W = W (Ui)
    
      W* = F(q11,q21,q12,q22,x1+x2)
        Di mana:  qi adalah output dan xi adalah faktor input        
Atau bahwa fungsi kesejahteraan maksimum dipengaruhi oleh output yang dikonsumsi masyarakat dan faktor input yang dimiliki masyarakat.

Bentuk dari kebijakan redistribusi kesejahteraan adalah melalui alokasi anggaran yang diperuntukkan untuk kesejahteraan semua rakyat, termasuk berbagai macam subsidi atau transfer kepada masyarakat yang belum sejahtera. Di beberapa negara, bentuk-bentuk kebijakan ini kebanyakan adalah transfer pada masyarakat yang belum sejahtera. Bahkan di beberapa negara Eropa dan juga negara maju lainnya, masyarakat yang tidak bekerja mendapatkan tunjangan pengangguran. Adapun alokasi anggaran untuk subsidi pendidikan dan subsidi kesehatan merupakan amanat UU sebagai kewajiban pemerintah, dan dilakukan oleh banyak negara di dunia. Kedua ini mempunyai manfaat kesejahteraan jangka panjang. Dengan kata lain, subsidi bukan merupakan hal yang tabu dan bukan pula sebagai kebijakan yang tidak efisien.
Berkaitan dengan subsidi, subsidi yang diberikan negara pada masyarakat adalah termasuk untuk subsidi barang strategis. Barang strategis adalah barang yang sangat penting bagi masyarakat dan perubahan harga barang ini akan menyebabkan perubahan harga barang lain yang terkait, termasuk barang jenis ini adalah Bahan Bakar Minyak (BBM). Dengan memberikan subsidi, Pemerintah melakukan kebijakan harga tertinggi (ceilling price)
BBM tidak bisa disamakan persis dengan telur, di mana jika harga telur naik maka harga makanan yang mengandung telur akan menjadi lebih mahal. Alasannya, yang mengadakan BBM adalah pemerintah, sedangkan pengadaan telur adalah masyarakat. BBM merupakan produk yang non-renewable, sedangkan telur adalah barang yang renewable. BBM digunakan di hampir semua sektor denyut nadi perekonomian, transportasi, listrik, pabrik, dll. Maka jika harga BBM naik, dapat dipastikan terjadi dampak multiplier terhadap harga-harga barang lainnya.

Akan tetapi subsidi BBM banyak dinikmati oleh orang bermobil/bermotor. Jadi apa sebaiknya yang dapat dilakukan?
1)      Sektor transportasi harus dibenahi, agar masyarakat luas mau beralih menggunakan transportasi         masal.
2)      Naikkan pajak kendaraan bermotor yang menggunakan BBM subsidi
3)      Pakai energi alternatif untuk mengganti BBM.
Selain itu harus ada sanksi yang tegas untuk segala bentuk korupsi dan penyelundupan, sehingga anggaran pemerintah cukup untuk membiayai rakyatnya.

Pemberian kartu pintar, kartu sehat dan kartu sejahtera tidak cukup untuk menutup dampak multiplier kenaikan BBM, dan kesejahteraan masyarakat luas akan terpangkas. Yang mendapatkan manfaat dari kenaikan harga BBM adalah para pelaksana proyek dari dana pengalihan subsidi BBM. Siapa mereka?
Nah, harus dipikirkan baik-baik, apakah sudah tepat saat ini menaikkan harga BBM, apalagi kabarnya harga minyak dunia jauh lebuh rendah dari asumsinya di APBN? Juga adanya ketimpangan pendapatan dan indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan yang semakin naik? Sanggupkah mayoritas rakyat menanggungnya? Perlu dilihat berapa persen GDP yang dinikmati mayoritas rakyat saat ini? (Lihat ukuran menurut Bank Dunia).  Para penerima gaji/upah tetap (PNS, buruh/karyawan, dll), pasti akan sangat merasakan dampaknya, apalagi orang miskin atau rentan miskin.  
Mungkin suatu ketika nanti harga BBM bisa tidak disubsidi lagi, yaitu ketika BBM sudah bukan menjadi produk yang strategis lagi.

Kita tidak mengharapkan para pemimpin kita memimpin negara ini didasarkan pada kebijakan neo-liberal, di mana semua harus sesuai dengan harga pasar. Perlu sekali kebijakan keberpihakan pemerintah pada masyarakat luas.

Selasa, 24 Juni 2014

Economic Welfare

EKONOMI PASAR SOSIALKAH? 
Debat dua capres tentang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, di mana kedua calon mengusung ekonomi kerakyatan/berdikari, mendorong penulis untuk urun rembug. Ekonomi kerakyatan berbasis pada rakyat yang harus dibuat berdaya untuk ikut dalam proses pembangunan ekonomi agar mereka menjadi lebih sejahtera. Sedangkan ekonomi berdikari, yang merupakan istilah bung Karno, hakekatnya juga mengacu pada rakyat pula, hanya bedanya pada jaman setelah kemerdekaan dahulu masyarakat Indonesia mayoritas masih belum sejahtera.
Kedua calon juga tidak menolak investor asing dalam pembangunan ekonomi, karena dalam era globalisasi ini yang diperjanjikan global bukan hanya aliran masuk-keluar barang-barang hasil produksi, namun juga aliran masuk-keluarnya dana investasi. Hanya capres no 2 sedikit kelepasan menyarankan untuk sedikit mempersulit investor asing dibanding investor lokal, padahal pengertian ekonomi berdikari versi Bung Karno (dalam pidato 1965) termasuk bekerja sama dengan investor asing berdasarkan sama-derajat dan saling menguntungkan, walaupun pembangunan ekonomi tidak boleh menyandarkan diri kepada bantuan negara atau bangsa lain.
Kesejahteraan sosial untuk seluruh masyarakat memang amanat UUD 1945, oleh karena itu patut diperjuangkan. Pasal 33 asli menekankan demokrasi ekonomi, asas kekeluargaan/ kebersamaan dan peran pemerintah dalam penguasaan kekayaan alam Indonesia, yang motif ekonominya adalah manfaat sosial-ekonomi. Sementara pasal amandemen mengakomodasi pula asas perorangan (efisiensi berkeadilan), yang implikasinya adalah adanya persaingan/liberalism, yang motif ekonominya adalah pencapaian laba/ekonomi. 
Dapatkah keduanya dipersatukan? Jawabannya: Bisa. Bukankah prinsip ‘efisiensi’ masih dipagari dengan kata ‘berkeadilan’. Juga, bukanlah pada pasal 34 negara diwajibkan mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, diwajibkan pula bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak?
Secara hukum, ekonomi pasar yang merupakan implikasi dari asas perorangan juga diakomodasi, namun pelaksanaannya harus ‘berkeadilan’.  Oleh karena itu, ekonomi pasar harus tidak boleh mematikan usaha rakyat, bahkan harus saling bekerjasama dan bisa saling mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial sekaligus.  Untuk itu jika investor asing masuk untuk memproduksi barang yang di Indonesia belum mencukupi, tidak harus dipersulit. Mereka bisa diarahkan untuk bermitra dengan usaha rakyat, sebagai pemasok, distributor, dll.
Di beberapa negara Eropa, perekonomian pasarlah yang berkembang, namun pemerintah mereka sangat ‘concern’ dengan kesejahteraan masyarakatnya. Berbagai program jaminan sosial diberikan, termasuk program perlindungan bagi masyarakat kurang mampu, sekalipun harus menerapkan anggaran defisit.  Pajak dan penerimaan dalam negeri lainnya dimaksimalkan sebagai sumber pembiayaan.
Namun demikian, pembiayaan untuk melaksanakan program-program tersebut di Indonesia haruslah tetap mengacu pada kemampuan bangsa sendiri. Untuk itu pembangunan ekonomi harus lebih didorong untuk memberdayakan masyarakat yang tidak/kurang mampu untuk menjadi lebih besar, dan menfasilitasi usaha menengah dan besar agar pertumbuhan ekonomi semakin meningkat. Jika usaha masyarakat meningkat, pajak yang ditarik akan meningkat, dan pemerintah lebih leluasa meningkatkan program-program jaminan sosial untuk kesejahteraan masyarakatnya.
Jika UUD sudah menjamin, tinggal para penguasa (termasuk presiden dan kepala daerah) harus menjalankan amanat UUD. Juga para perencana UU (DPR, dll) dan pengawas (BPK, KPK, Hakim, dll) harus saling mendukung menjalankan amanat UUD, jangan malah saling memanfatkan jabatan demi keuntungan pribadi, termasuk mencegah kebocoran anggaran seperti yang ditengarai capres nomor 1.  Buat kontrak jabatan untuk melaksanakan janji-janji saat kampanye/pelantikan, dan tidak boleh meninggalkan/mengingkari tugas, kecuali alasan sakit/kematian. Berikan ‘apresiasi’ untuk masyarakat/perusahaan/penguasa/perencana/pengawas yang berprestasi, dan berikan hukuman yang berat untuk mereka yang menyalahi aturan. Untuk Indonesia sejahtera. Salam