Selasa, 15 November 2011

CLUSTER INDUSTRI

Oleh: Sri Indah Nikensari
Setiap daerah dituntut mampu mengembangkan wilayah dengan mengenali dan mengoptimalkan potensi lokalnya.  Situasi ini menjadi sebuah strategi baru bagi pengembangan aktivitas industri di Indonesia, sejalan dengan kecenderungan proses tranformasi struktural yang terjadi di berbagai negara. Penekanannya pada penciptaan kondisi yang tidak bergantung dengan investasi asing dan tetap mampu membuka lapangan kerja (multiplier effects) sekaligus berdaya saing tinggi dan berkelanjutan.  
Peningkatan daya saing yang bersumber pada efisiensi dan produktivitas kerja ini dapat ditempuh dengan mengembangkan wilayah berdasarkan potensi lokal atau dikenal dengan istilah pengembangan lokal. Pengembangan lokal kemudian lebih dikenal karena keberhasilan dalam menciptakan distrik-distrik industri, seperti yang tersebar di Jerman, Italia, dan Indonesia. Fenomena ini diperkuat dengan argumentasi para ahli ekonomi mengenai paradigma geografi ekonomi baru (Thisse, 20011:1-16. New economic geography atau geographical economics) .
Peta ekonomi dewasa ini didominasi oleh distrik industri yang kemudian disebut sebagai cluster karena terdapat keterkaitan (linkages) dan jaringan (networks) antar aktivitas dan pelaku industri. Konsep cluster dipopulerkan oleh Porter (1990:78-86) dalam tulisan the Competitive Advantages of Nations, melalui model yang disebut ”diamond of advantage”. Model ini menggambarkan daya saing satu wilayah ditentukan oleh kerja sama yang serasi antar unit usaha dan industri yang terdapat di wilayah tersebut. Perhatian mendalam tentang pengembangan cluster dimulai sejak tahun 1980-an dan 1990-an setelah keberhasilan cluster industri di Italia dan beberapa negara Eropah (Humprey & Schmitz, 1995,UNIDO: Discussion paper no 1).
Michael Porter (2000:15-34) juga mengatakan, cluster adalah konsentrasi geografis antara perusahaan-perusahaan yang saling terkait dan bekerjasama, diantaranya melibatkan pemasok barang, penyedia jasa, industri yang terkait, serta sejumlah lembaga yang secara khusus berfungsi sebagai penunjang dan atau pelengkap. Hubungan antar perusahaan dalam cluster dapat bersifat horisontal atau vertikal. Bersifat horisontal melalui mekanisme produk jasa komplementer, penggunaan berbagai input khusus teknologi atau institusi. Sedangkan sifat vertikalnya dilakukan melalui rantai pembelian dan penjualan. In urban study, the term agglomeration is used [ 2 ] . Michael Porter juga menyatakan bahwa kelompok memiliki potensi untuk mempengaruhi kompetisi dalam tiga cara, yakni by increasing the productivity of the companies in the cluster, dengan meningkatkan produktivitas perusahaan dalam cluster, by driving innovation in the fielddengan mendorong inovasi di lapangan dan by stimulating new businesses in the field dengan merangsang bisnis baru di lapangan.
Menurut Michael Porter, terdapat faktor-faktor yang memicu inovasi dan perkembangan cluster yang kemudian dikenal dengan ”Diamond Porter”, yaitu : (i) Faktor kondisi yang terdiri dari tenaga kerja yang terspesialisasi, infrastruktur, bahan baku, dan modal; (ii) Permintaan yang meliputi karakteristik, segmen, ukuran, dan jumlah permintaan; (iii) Industri pendukung dan terkait yang meliputi industri pemasok dan komplementer; serta (iv) Struktur, strategi, dan persaingan perusahaan. Selain itu, Porter juga menambahkan pemerintah yang juga berperan penting dalam pengambangan cluster.
Dikatakan juga bahwa usaha/industri yang berada dalam kelompok dapat mempengaruhi daya saing melalui peningkatan produktivitas, mendorong inovasi dan merangsang bisnis baru di lapangan. Cluster akan meningkatkan produktivitas karena kebutuhan industri dalam mengakses atau memperoleh sumber daya dapat terkonsentrasi di satu tempat. Hal ini membantu meringankan biaya transaksi (transaction costs). Sumber daya produktif yang dimaksud dapat berupa teknologi, informasi, sumber daya manusia, kapital, atau sumber daya lainnya.
Fabio Russo (1999:2, UNIDO) mangatakan, “clusters can be defined as sectoral and geographical concentration of enterprises, in particular Small and Medium Enterprises (SME), faced with common opportunities and threats which can: a) give rise to external economies (e.g. specialised suppliers of raw materials, components and machinery; sector specific skills etc.); b) favour the emergence of specialized technical, administrative and financial services; c) create a conducive ground for the development of interfirm cooperation and specialization as well as of cooperation among public and private local institutions to promote local production, innovation and collective learning”. Menurut Fabio Russo, cluster dapat didefinisikan sebagai konsentrasi sektoral dan geografis perusahaan terutama di  sektor UKM, secara bersama-sama akan dapat menimbulkan ekonomi eksternal (misalnya masuknya pemasok bahan baku, komponen dan mesin, sektor tertentu keterampilan dll),  mendukung munculnya layanan teknis, administrasi dan keuangan khusus,  menciptakan wilayah yang kondusif bagi pengembangan kerjasama antar industri kecil dan spesialisasi serta kerjasama antar lembaga lokal publik dan swasta untuk mempromosikan lokal produksi, inovasi dan pembelajaran kolektif ".
Selain itu, konsentrasi dan interaksi yang tinggi antar sesama industri dalam cluster akan memperlancar proses penyebaran dan pertukaran informasi, pertukaran pengalaman dan sebagainya.  Di sejumlah cluster bahkan bermunculan perkumpulan profesi, baik formal atau pun informal yang akan mempercepat penyebaran pengetahuan. Ide-ide dan praktek-praktek terbaik, yang segera menyebar dengan cepat dalam cluster.  Di samping itu, ada peningkatan parameter kinerja baru yang muncul sehingga semakin menumbuhkan suasana berkompetisi diantara industri dalam cluster tersebut.  Kompetisi yang ketat antar industri dalam cluster memaksa mereka untuk tidak berpuas diri dengan status-quo(Budi Rahardjo, 2006).  Adanya tekanan untuk membangun reputasi yang tinggi, menyebabkan friksi ekonomi sesama industri (distrust) akan menurun. 
Keberadaan cluster industri akan mempermudah munculnya bisnis-bisnis baru. Di sejumlah lokasi cluster, tersedianya sumber daya produktif, yang semula dimiliki perusahaan besar juga bisa diakses oleh perusahaan start up. Memang, ketersediaan semua sumber daya yang dibutuhkan membuat entry barrier menjadi rendah bagi industri yang ingin mendirikan bisnis baru. Karena kebutuhan sumber daya sudah tersedia, industri yang bergabung dengan cluster tidak atau counter productive terhadap kelangsungan usaha industri.  Namun kenyataan di lapangan, mobilitas tersebut justru membawa akibat positif berupa transfer pengetahuan, baik yang bisa diajarkan atau pun yang bersifat tacit knowledge, ke perusahaan-perusahaan lain di dalam cluster (DR. Choirul Djamhari,  2006:. 84).
Manfaat lain dari cluster industri antara lain adalah mengurangi biaya transportasi dan transaksi,  meningkatkan efisiensi, menciptakan aset secara kolektif, dan memungkinkan terciptanya inovasi. Cluster industri merupakan salah satu cara terbaik untuk mengorganisasikan industri satu negara, sehingga lebih memudahkan perumusan kebijakan pemerintah karena lebih terintegrasi dan terfokus. Dalam pembentukan cluster, perlu diperkuat industri-industri yang terdapat dalam rantai nilai (value chain) yang mencakup industri inti (core industry), industri pendukung (supporting industries), dan industri-industri terkait (related industries), yang dapat mendorong keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif.
Menurut Rosenfeld (1997, Feb97, Vol. 5 Issue 1, p3), keberhasilan suatu cluster ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu (1) spesialisasi, (2) kapasitas penelitian dan pengembangan, (3) pengetahuan dan keterampilan, (4) pengembangan sumber daya manusia, (5) jaringan kerjasama dan modal sosial, (6) kedekatan dengan pemasok, (7) ketersediaan modal, (8) jiwa kewirausahaan, serta (9) kepemimpinan dan visi bersama.
Terkaitan cluster dengan IKM, dimulai ketika pertumbuhan UKM mulai menjadi topik yang cukup hangat sejak munculnya tesis flexible specialization pada tahun 1980-an, yang didasari oleh pengalaman dari cluster Industri Skala Kecil (ISK) dan Industri Skala Menengah (ISM) di beberapa negara di Eropa Barat, khususnya Italia (Becattini, G.,1990 dalam F. Pyke, G. Becattini & W. Sengenberger,1990).
Sebagai contoh kasus, pada tahun 1970-80an, pada saat Industri Skala Besar di beberapa negara (Inggris, Jerman dan Italia mengalami stagnasi,  ternyata Industri Skala Kecil yang terkonsentrasi di lokasi tertentu membentuk cluster-cluster mengalami pertumbuhan yang pesat bahkan mengembangkan pasar ekspor untuk barang-barangnya dan menyerap banyak tenaga kerja (Rabelloti, 1994 dalam Kuncoro, 2003). Cluster-cluster dapat berkembang lebih pesat, lebih fleksibel dalam menghadapi perubahan pasar, dan dapat meningkatkan produksinya dibandingkan industri kecil secara individual di luar cluster. Pengalaman Taiwan, sebagai perbandingan, justru menunjukkan ekonominya dapat tumbuh pesat karena dukungan sejumlah usaha kecil dan menengah yang sering disebut community based industry. Perkembangan industri modern di Taiwan, yang sukses menembus pasar global, ternyata ditopang oleh kontribusi usaha kecil dan menengah yang dinamik.  Hubungan yang erat antara industri besar dan industri kecil melalui subkontrak terbukti mampu mensinergikan dan menopang perekonomian Taiwan.
Menurut Sandee  (dalam International Food and Agribusiness Management Review Vol. 2/No. 3/4/2001, p 290), sentra industri didefinisikan sebagai kelompok geografis dengan anggota sedikitnya ada 20 perusahaan yang serupa. Kecuali kelompok-kelompok kecil yang mampu mengekspor seluruh atau sebagian dari produknya, karena dalam beberapa kasus kelompok yang lebih kecil juga tercatat sebagai cluster. Dengan kata lain sentra industri kecil didukung oleh keberadaan cluster-cluster industri kecil. Namun identifikasi yang lebih penting adalah dalam cluster terdapat peta keterkaitan dan keterpaduan antar industri dengan berbagai institusi pendukungnya.
Selengkapnya... (Hubungi penulis)

Selasa, 06 September 2011

Trickle Down and Trickle Up Theory

OLEH: Said Zainal Abidin


Trickle down dan trickle up adalah dua istilah yang kontradiktif yang menarik dalam kajian ekonomi politik dan pembangunan. Keduanya terkait dengan teori dan akibat dari pembangunan yang diharapkan dan yang terjadi di banyak negara. Meskipun teori trickle down ini menjadi populer di Amerika dalam Era Presiden Reagan, tetapi pendekatan ini sebenarnya sudah lama muncul di Amerika Serikat. John Kenneth Galbraith mencatat, bahwa pendekatan yang serupa sudah dikenal di Amerika Serikat sejak tahun 1890 dengan nama 'horse and sparrow' theory.


Teori trickle down menganggap, jika kebijakan ditujukan untuk memberi keuntungan bagi kelompok orang-orang kaya, maka keuntungan itu akan menetes kebawah kepada golongan miskin melalui perluasan kesempatan kerja, distribusi pendapatan melalui upah dan perluasan pasar.


Aplikasi teori ini dalam bentuk supply-side economics oleh Presiden Reagan yang dikenal sebagai Reaganomics (diotaki oleh Prof Laffer dan Prof Bartley, dilaksanakan oleh David Stockman, Direktur Anggaran pada waktu itu), cukup berhasil menekan inflasi dan kemacetan ekonomi di Amerika Serikat. Antara lain ada dua  sebab yang menjadi alasan keberhasilan Reaganomics itu.


Pertama, sebagai negara Kapitalis, lapisan pengusaha dalam masyarakat Amerika Serikat sangat dominan dibandingkan dengan kekuatan golongan lain. Pendekatan supply side economics yang dilakukan melalui pengurangan pajak (taxes cuts) segera dapat mendorong kegiatan ekonomi lapisan atas yang cukup luas itu. Akibatnya, aplikasi supply side economics melalui pengurangan tingkat pajak mendorong peningkatan kegiatan produksi atau memperbanyak jumlah barang dalam masyarakat dan memperluas kesempatan kerja.


Kedua, bersamaan dengan kebijakan berdasarkan teori trickle down itu diterapkan pula kebijakan moneter dan kebijakan anggaran ketat yang dapat mengurangi jumlah uang  beredar. Dengan demikian, kedua pendekatan itu secara bersama mengandung efek deflator sehingga mampu menekan tingkat inflasi. Tingkat inflasi yang tinggi pada akhir tahun 1970 (sebelum Reagan menjadi presiden), dapat diturunkan.
   
Bagaimana halnya dengan teori trickle up? Teori trickle up mengemukakan, bahwa pembangunan yang ditujukan untuk kepentingan golongan miskin, pada akhirnya akan mengalirkan manfaat itu kepada golongan kaya di lapisan atas. Alasannya, orang-orang miskin yang secara umum mempunyai marginal propensity to consume (kecenderungan pengeluaran untuk konsumsi dari tambahan pendapatan yang diterima) yang lebih besar, cenderung mengeluarkan bagian dari pendapatannya yang lebih besar dari setiap tambahan pendapatan yang diterima dibandingkan dengan bagian pengeluaran orang kaya dari tambahan pendapatannya, maka tambahan penerimaan orang-orang miskin itu akan meluaskan pasaran bagi barang-barang yang dihasilkan oleh orang-orang kaya.


Dengan demikian dapat dibayangkan, kalau pembangunan yang dilakukan untuk kepentingan golongan miskin saja dapat mengalirkan manfaatnya  kepada golongan kaya (trickle up), apalagi kalau kebijakan itu tidak ditujukan untuk kepentingan golongan miskin?


Berdasarkan asumsi dari kedua teori tersebut, timbul pertanyaan, bagaimana kita dapat menerapkan teori-teori tersebut dalam pembangunan wilayah dan menghilangkan kemiskinan di Indonesia? Pilihan terhadap kedua teori ini, tergantung pada struktur masyarakat dan kombinasi teori lain yang yang sesuai, sehingga dapat memberi efek komulatif.


Pengalaman dibanyak negara berkembang menunjukkan bahwa sekedar aplikasi kedua teori ini secara netral, keduanya tidak dapat memberi manfaat bagi golongan miskin. Dapat dipahami, golongan miskin adalah kelompok yang lemah dalam masyarakat. Pada umumnya kelompok miskin tidak mempunyai pendapatan yang mencukupi, kurang berpendidikan, berwawasan sempit dan kurang inisiatif. Maka itu, kalau kelompok kaya mampu memanfaatkan fasilitas yang ada, atau bahkan dapat mendorong diadakannya fasilitas baru yang dibutuhkan, golongan miskin bahkan tidak mampu memanfaatkan fasilitas yang tersedia. Mereka tidak dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk dapat menerima fasilitas tersebut. Akibatnya, fasilitas yang diberikan tidak termanfaatkan atau  beralih kepada pihak yang lebih kuat.
  
Gunnar Mirdal dalam Cumulative causation theory mengatakan, kalau dalam masyarakat semula terdapat keseimbangan antara dua kekuatan, kemudian terjadi sesuatu perubahan, maka akan terjadi ketidak seimbangan diantara kekuatan-kekuatan itu secara terus menerus. Perubahan itu akan memberi keuntungan secara berlanjut kepada yang kuat dan kerugian bagi yang lemah. "The spiral work up ward to the rich and down ward to the poor". Sejalan dengan itu, Gunnar Mirdal menjelaskan pengaruh teori itu dalam hubungan antara dua daerah yang berbeda tingkat kemajuannya.


Misalnya antara desa dengan kota atau antara negara maju dengan negara miskin.
Daerah pedesaan atau negara yang kurang maju tidak mempunyai cukup modal, kurang memiliki tenaga ahli dan terampil, sementara daerah perkotaan atau negara-negara maju mempunyai modal yang  relatif jauh lebih banyak, memiliki jumlah tenaga ahli dan terampil yang lebih banyak. Tetapi dalam hubungan antara kedua daerah ini, yang terjadi adalah, modal dari yang relatif kurang dari daerah tertinggal itu akan mengalir dan ditanamkan di daerah yang lebih maju. Begitu juga tenaga ahli dan terampil akan berpindah ke daerah yang lebih maju. Sebagai akibat dari hubungan tersebut, adalah tersapunya potensi yang ada dari daerah tertinggal mengalir kedaerah yang lebih maju, yang oleh Gunnar Mirdal disebut sebagai proses back-washed effects.
   
Karena itu, pembangunan wilayah miskin dan daerah tertinggal tidak dapat dilakukan hanya sekedar dengan menggunakan satu pendekatan saja, tanpa melihat kondisi daerah, dan kombinasi yang tepat dengan pendekatan-pendekatan lain yang diperlukan. Apalagi kalau selama ini terkesan, bahwa kinerja menteri daerah tertinggal hanya dilihat pada jumlah kunjungannya ke daerah-daerah tersebut, tanpa jelas programnya. Pembangunan wilayah miskin dan daerah tertinggal merupakan hal yang sangat strategis, mengingat banyaknya daerah miskin dan luasnya daerah-daerah tertinggal di Indonesia. Tidak hanya yang terdapat di wilayah Indonesia Bagian Timur, tetapi juga hampir di seluruh kepulauan Tanah Air. Pengaruhnya sangat besar terhadap pembangunan nasional secara menyeluruh.


Setiap masyarakat mempunyai keunikan dan permasalah tersendiri, yang harus didekati dengan pendekatan yang cocok atau dengan kombinasi pendekatan-pendekatan yang sesuai dan saling mendukung. Masalah yang terdapat dalam masyarakat di wilayah-wilayah tertinggal, sering kali sudah mengalami kompleksitas. Masalah yang ada menjadi kompleks karena terkontaminasi dengan bermacam masalah lain. Sebab itu diperlukan diagnosis yang teliti terhadap masyarakat yang bersangkutan dan pemilihan strategi yang tepat dalam penyembuhan atau pembangunannya. Sayangnya, pembangunan wilayah-wilayah miskin dan daerah-daerah tertinggal itu sejak dahulu  sampai sekarang belum mendapat prioritas yang seharusnya, sehingga terkesan sebagai tugas tambahan yang tidak terlalu diperhitungkan.

*) Said Zainal Abidinadalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management), analis kebijakan publik dan guru besar STIA LAN. Sekarang penasihat KPK